Minggu, 12 Mei 2013

Early Diagnosis dan Prompt Treatment pada HIV/AIDS

Early Diagnosis pada HIV/AIDS



Umumnya, ada tiga tipe deteksi HIV, yaitu  tes PCR, tes antibodi HIV, dan tes antigen HIV.

Tes reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat (DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh manusia. Tes ini sering pula dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat (HIV NAAT). PCR DNA biasa merupakan metode kualitatif yang hanya bisa mendeteksi ada atau tidaknya DNA virus. Sedangkan, untuk deteksi RNA virus dapat dilakukan dengan metode real-time PCR yang merupakan metode kuantitatif. Deteksi asam nukleat ini dapat mendeteksi keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak awal infeksi terjadi. Tes ini biasanya digunakan untuk mendeteksi HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang digunakan pada individu dewasa karena biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan mengelola dan menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes lainnya.Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV yang murah dan akurat.Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi tersebut. Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di darah, saliva (liur), dan urin. Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia. Sampel dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat uji (test strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul dua pita berwarna ungu kemerahan. Tingkat akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua hasil positif harus dikonfirmasi kembali dengan ELISA. Selain ELISA, tes antibodi HIV lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot.

Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon antibodi. Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat ditemukan dalam serum darah. Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara berkesinambungan untuk memberikan hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih awal. Tes ini jarang digunakan sendiri karena sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum antibodi terhadap HIV terbentuk.

Keuntungan diagnosis dini :
·         Intervensi pengobatan fase infeksi asimsomatik dapat diperpanjang
·         Menghambat perjalanan penyakit ke arah AIDS
·         Pencegahan infeksi oportunistik 
·         Konseling dan pendidikan untuk kesehatan umum penderita
·         Penyembuhan ( bila mungkin ) hanya dapat terjadi bila pengobatan pada fase dini (Tjokronegoro&Hendra,2003 )

Prompt Treatment pada HIV/AIDS



ARV (Anti Retro Viral) adalah sebuah obat yang digunakan dalam terapi bagi ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) dengan tujuan menekan jumlah HIV sehingga virus ini tidak secara signifikan merusak kekebalan tubuh orang yang telah terinfeksi oleh virus ini. Anti Retro Viral (ARV) merupakan satu-satunya obat untuk pasien HIV/AIDS saat ini. Fungsinya adalah menekan jumlah virus HIV di dalam tubuh penderita, sehingga tidak melemahkan sel daya tahan tubuhnya. Dengan dijaganya virus untuk tidak menyerang sel pertahanan tubuh, pasien HIV akan bisa hidup normal dan tidak cepat menderita sakit.

World Health Organization (WHO), saat ini mendesak pengobatan setelah penyakit tersebut berkembang ke suatu titik tertentu, atau ketika tubuh T-sel, atau jumlah CD4, mencapai atau turun di bawah tingkat 350 sel/mm3.ARV telah terbukti secara ilmiah efektif dalam meningkatkan kualitas hidup ODHA. ODHA yang mengkonsumsi ARV secara teratur telah terbukti dapat bertahan hidup lama dengan tingkat kesehatan yang tinggi. ARV bahkan menunjukkan efektivitasnya pada ODHA dengan menekan kadar HIV dalam tubuh hingga tingkat tidak terdeteksi oleh alat-alat tes sehingga penggunaan secara teratur dalam kerangka upaya pencegahan penularan HIV telah mulai dipertimbangkan.

ARV juga menjadi salah satu faktor yang memberikan gambaran baik terhadap infeksi HIV sehingga orang-orang tidak takut untuk memeriksakan kondisi tubuhnya terkait infeksi HIV dan mampu secara lebih dini mendapatkan akses perawatan yang dibutuhkan bila ternyata ia terinfeksi HIV.Pemberian ARV ternyata tidak hanya satu jenis. Pasien HIV diberikan kombinasi dari 3 jenis obat ARV. ARV dari segi waktu minum obatnya, ada yang 12 jam sekali dan ada yang 24 jam sekali. Periode minum obat ini harus tepat waktu dan tidak boleh berhenti. Dengan kata lain, pasien HIV harus meminum ARV seumur hidup mereka.


ARV terbagi menjadi beberapa golongan. Yang paling popular adalah digolongkan dalam beberapa tingkatan lini. Lini di sini dimaksudkan untuk memberikan pilihan bagi ODHA ketika ARV yang dikonsumsinya tidak cocok atau sudah menjadi kebal dalam menekan kadar HIV dalam tubuh. Jadi ketika ARV lini pertama sudah tidak efektif lagi menekan kadar HIV maka yang bersangkutan harus berganti ARV lini kedua.Jika ARV yang biasa diberikan mengalami resistensi, ada pilihan ARV line dua. ARV line dua harganya mahal karena hanya bisa dibeli di luar negeri.Apabila tidak mengonsumsi ARV secara teratur, pasien HIV akan mengalami resistensi terhadap obat yang diberikan. Efeknya, virus menjadi kebal terhadap obat dan kembali bertambah banyak. Penyebab terjadinya resistensi, bisa karena pasien tidak disiplin minum obat atau tubuh pasien tidak cocok dengan ARV yang diberikan.ARV menjadi kebal dikarenakan beberapa faktor. Salah satu faktor terbesarnya adalah ARV tidak diminum secara teratur. ARV harus diminum secara teratur setiap harinya dengan mengikuti pola jam minum yang ketat. Ketidak tepatan waktu meminum ARV akan menimbulkan potensi besar terjadinya kekebalan pada tubuh ODHA sehingga ARV tidak lagi efektif dan yang bersangkutan harus berpindah lini ARV berikutnya. Jadi ketersediaan ARV secara teratur menjadi salah satu kunci keberhasilan terapi ARV bagi ODHA.

ARV yang selama ini beredar adalah versi Generik. Jumlah terbesar di import dari India dan selanjutnya yang berasal dari Kimia Farma. Dana pembelian berasal dari Global Fund (donor AIDS) untuk ARV generik India dan APBN untuk ARV Generik Kimia Farma. ARV pertamakali masuk ke Indonesia pada tahun 1997. Pada tahun itu, Pokdisus (Poliklinik Pendidikan Khusus) AIDS RSCM mengimport langsung ARV namun harganya tidak terjangkau oleh mayoritas ODHA. Pada tahun 2001, bertepatan dengan ditandatanganinya Deklarasi Komitment UNGASS, beberapa jenis ARV generic telah mulai masuk ke Indonesia meskipun harganya pun masih tetap mahal, mencapai lebih dari satu juta rupiah untuk setiap bulannya sesuai kondisi ekonomi saat itu. Tahun 2003 PT Kimia Farma meluncurkan produk ARV buatan dalam negeri untuk pertama kalinya. Hal ini kemudian diperkuat dengan keluarnya Peraturan Presiden mengenai Lisensi Wajib ARV pada tahun 2004 dan penyediaan ARV di subsidi penuh oleh pemerintah. Peraturan mengenai lisensi wajib ini mencakup 2 jenis ARV yaitu Lamivudine dan Nevirapine dan kemudian ditahun 2007 ditambah dengan satu jenis ARV yaitu Efavirenz.

0 komentar:

Posting Komentar